Untuk Ibu, Saudara dan Sahabat Perempuanku
Sore itu Ranti berdiri menantang angin di tepi cakrawala. Rambutnya dibiarkan berkibar lepas. Dua bilah sayap besar dan kokoh di punggungnya telah mengembang dengan sempurnanya. Bulu-bulu putih yang bercahaya telah mulai mengepak berirama dengan perlahan. Seperti menari…Ranti siap menunggangi malam !
Dalam gelap malam, Ranti terbang
dengan anggunnya. Cahaya sayapnya berpedar-pedar. Sesekali ia terbang rendah
tanpa beban. Menukik menyentuh ujung-ujung cemara, lalu kembali ke atas dan bercanda dengan
dinginnya hembusan angin malam. Ranti terlihat santai. Senyum tak pernah lepas
dari bibirnya, raut wajahnya terlihat manis dengan itu. Namun… sorot matanya
sangat tajam. Tajam, lugas, dan berwibawa. Ranti tau..sangat tau. Malam
tidaklah ramah!! Gelap itu jahat !! Oleh
karena itu ia sangat waspada. Sekali waktu ia terjebak dalam sebuah lorong tak
berujung. Setiap sisi dinding lorong terlihat menarik karena berkilau dengan
susunan indahnya manikam. Ia tergoda. Namun Ranti tau itu berbahaya. Di lorong
itu angin berpusar liar. Setiap orang dapat terhempas tanpa terduga. Dan
batu-batu manikam itu setajam belati
serdadu Gurkha. Siku kiri Ranti sempat tergores karenanya. Sangat
berbahaya. Dengan cepat dikibaskannya sayapnya dengan kuat menjauh dari lorong
itu, dengan senyum yang masih tak pernah lepas dari wajahnya.
Kadang angin membawanya ke taman
yang terlihat nyaman. Walau gelap, bunga-bunga ditaman itu menebarkan bau harum
yang menyenangkan. Sebagai wanita Ranti sangat tertarik. Apalagi banyak
sahabatnya ada disitu. Namun pengalaman dan kesadarannya berkata lain. Gelap
telah menutup akar liar tanaman yang menjerat erat. Tidak terlihat setiap orang
di taman itu terikat oleh akar yang
mengekangnya selamanya. Kebebasan akan di beli tunai disitu. Sayup-sayup walau
kurang jelas ia mendengar jeritan para sahabatnya minta tolong. Dua kebasan
sayapnya yang kokoh membawanya terbang tinggi menjauh. Ranti tersenyum lega…
Sebelum fajar merekah, Ranti
terbang mengambang di atas sebuah telaga.
Jaraknya sangat dekat. Dan ia lelah dan haus. Peluh membanjiri
punggungnya, membuatnya gerah. Telaga itu menantangnya. Ingin rasanya menyebur dan mandi.
Menghilangkan penat dan dahaga sejenak. Tiba-tiba suara hatinya menyadarkannya.
Ia ingat pesan Rekso suaminya. Sayapmu tidak boleh basah. Akan membuatnya kuyu
dan berat karena air. Dan engkau tidak dapat terbang lagi. Haakk…Ranti
berbalik, dan ia patuh. Dibalik semua kebutuhannya dan keinginannya yang egois,
ia patuh. Akal sehatnya juga membantu. Ia tidak tau ada apa di dalam telaga
itu. Bahaya bisa mengintai setiap saat. Sayapnya
mengepak perlahan menjauhi telaga yang tampak makin kecil dan akhirnya tidak
kelihatan lagi.
ini fajar telah datang. Di ufuk
timur, di batas cakrawala, Ranti duduk bersimpuh di atas batu datar dengan
tenang. Sayap terangnya telah mengatup dengan lelah. Dua anak perempuannya bersandar dengan nyaman
di ketiaknya. Masih tertidur, berlindung di dua bilah sayapnya yang hangat. Dua
langkah di depannya Rekso suaminya duduk bersila. Sesekali ia menoleh
kebelakang melemparkan tatapan terima kasih kepada Ranti istrinya. Ranti membalasnya dengan senyuman
khasnya. Didalam pikirannya ia senang. Ia puas. Ia bersukur dan berterima kasih
kepada Sang Kuasa atas kemampuannya membawa keluarganya terbang melewati
malam……
Tatapan Ranti jauh membelah sisa
malam. Di sela-sela helai fajar yang merekah, mata Ranti mencari-cari. Ia
merasa saat terbang melintasi malam membawa keluarganya , ia tidak sendirian.
Di kejauhan seperti kunang-kunang ia melihat banyak cahaya berpedar. Ia yakin
ia tidak sendirian. Dan ia tau mereka juga adalah wanita seperti dirinya….
Karena hanya wanita yang dikaruniai sayap cahaya !! Kartini telah merajut sayap cahaya dengan
teliti dan mewariskannya untuk melewati
kegelapan jika waktunya tiba. Membawa peradaban menuju terang yang gemilang.
Terima kasih Kartini…….. ( Doni Dole )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar