Selasa, 03 Juli 2012

MENUNGGU ANGIN ( Perubahan pada orientasi budaya lokal )



Dari banyak bincang-bincang, kita semua gelisah. Orang yang duduk di kursi atau yang bersila di lantai sama perasaannya. Ada bisik-bisik waktu itu yang bilang, budaya lokal hampir mati. Ada juga dengan muka kecut menanggapi issue itu berlebihan. tapi tidak sedikit yang meng-iya-kan. Aaahh yang penting, memang kami semua gelisah !! Di warung... es Kluwung di sudut terminal Menara kami sering sedih melihat kekeringan ini. Walaupun tenggorokan bisa dingin dengan manisnya es warna-warni itu, namun otak jadi panas dan hati geregetan. Kebudayaan lokal memang mengalami masa panceklik....

Di ruang FKIP Universitas Muria Kudus tadi malam ada yang bertanya pada gurunya...Apa yang mesti kita perbuat ? Dalam bedah buku yang di tulis si Sigit itu orang-orang meminta pertolongan. Pokoknya tulis tentang sastra lokal mas...tolong kami lapar. Permohonan serius yang di tanggapi dengan iba.Yaaah memang kita harus berubah !!

Dari omong-omong kami semalam juga memang sastra dengan budaya lokal lagi anjlok. Produknya lagi miris. Coba aja lihat rak-rak pajangannya lagi ompong bukan ? Ruang-ruang kreatif juga gelap. Lampu teplok di pojok ruangan terakhir di isi minyak 5 tahun yang lalu. Coba lihat, mau ngomong apa kalau sudah begitu. Kalau mau di paksa nyalakan, nanti sumbunya yang habis kebakar jadinya ? Panggung apresiasi juga sudah berdebu dan lapuk dimakan rayap. Teman kami bilang rayap suka pada lezatnya kayu yang lembab. Dua bulan yang lalu ada yang mau pakai panggung itu untuk promosi rokok katanya. Tapi nggak jadi karena takut jeblos. Maklum band korea-korea-an itu gerakannya kan suka gila-gilaan. Aah... tapi menurut saya lebih gila rayapnya. Panggung buat penampilan budaya kok di lahap juga.

Ini bulan sudah Juni, Agustus nanti adalah masa perpindahan musim. Mas imam bilang mau ketemu sore nanti. Kita mau bahas pengembagan budaya lokal. Mas Tommy akan datang terlambat. Maaf katanya, ada ujian. Dia kan guru! Kami semua bunting karena gelisah. Namun harap-harap cemas menanti kelahiran di musim ini. Kami menanti angin segar yang menghembuskan perubahan. Yang menyegarkan ruang-ruang dan meniup debu di panggung seni. Dan di awal musim hujan nanti rayap sudah kembali ke tanah dan laron-laron keluar dari sarangnya....


Demi cintaku untuk kota ini...( donidole )




Qsanak dalam proses bermusiknya ingin mengabadikan berbagai item budaya lokal dalam lagunya. Kami menganggap kuliner adalah salah satu artefak dalam kebudayaan dan kebiasaan masyarat umum apapun ras dan agamanya. Dalam kuliner tersimpan banyak filosofi, adat, dan nilai dalam kehidupan sosial.  Lagu Makan-Makan di Kota Kudus ini di dedikasikan untuk kota Kudus tercinta

Senin, 02 Juli 2012

Perempuan Bersayap Terang







Untuk Ibu, Saudara dan Sahabat Perempuanku 


Sore itu Ranti berdiri menantang angin di tepi cakrawala. Rambutnya dibiarkan berkibar lepas. Dua bilah sayap besar dan kokoh di punggungnya telah mengembang dengan sempurnanya. Bulu-bulu putih yang bercahaya  telah mulai mengepak berirama dengan perlahan. Seperti menari…Ranti siap menunggangi malam !
Dalam gelap malam, Ranti terbang dengan anggunnya. Cahaya sayapnya berpedar-pedar. Sesekali ia terbang rendah tanpa beban. Menukik menyentuh ujung-ujung cemara,  lalu kembali ke atas dan bercanda dengan dinginnya hembusan angin malam. Ranti terlihat santai. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya, raut wajahnya terlihat manis dengan itu. Namun… sorot matanya sangat tajam. Tajam, lugas, dan berwibawa. Ranti tau..sangat tau. Malam tidaklah ramah!!  Gelap itu jahat !! Oleh karena itu ia sangat waspada. Sekali waktu ia terjebak dalam sebuah lorong tak berujung. Setiap sisi dinding lorong terlihat menarik karena berkilau dengan susunan indahnya manikam. Ia tergoda. Namun Ranti tau itu berbahaya. Di lorong itu angin berpusar liar. Setiap orang dapat terhempas tanpa terduga. Dan batu-batu manikam itu setajam belati  serdadu Gurkha. Siku kiri Ranti sempat tergores karenanya. Sangat berbahaya. Dengan cepat dikibaskannya sayapnya dengan kuat menjauh dari lorong itu, dengan senyum yang masih tak pernah lepas dari wajahnya.
Kadang angin membawanya ke taman yang terlihat nyaman. Walau gelap, bunga-bunga ditaman itu menebarkan bau harum yang menyenangkan. Sebagai wanita Ranti sangat tertarik. Apalagi banyak sahabatnya ada disitu. Namun pengalaman dan kesadarannya berkata lain. Gelap telah menutup akar liar tanaman yang menjerat erat. Tidak terlihat setiap orang di taman itu  terikat oleh akar yang mengekangnya selamanya. Kebebasan akan di beli tunai disitu. Sayup-sayup walau kurang jelas ia mendengar jeritan para sahabatnya minta tolong. Dua kebasan sayapnya yang kokoh membawanya terbang tinggi menjauh. Ranti tersenyum lega…
Sebelum fajar merekah, Ranti terbang mengambang di atas sebuah telaga.  Jaraknya sangat dekat. Dan ia lelah dan haus. Peluh membanjiri punggungnya, membuatnya gerah. Telaga itu menantangnya.  Ingin rasanya menyebur dan mandi. Menghilangkan penat dan dahaga sejenak. Tiba-tiba suara hatinya menyadarkannya. Ia ingat pesan Rekso suaminya. Sayapmu tidak boleh basah. Akan membuatnya kuyu dan berat karena air. Dan engkau tidak dapat terbang lagi. Haakk…Ranti berbalik, dan ia patuh. Dibalik semua kebutuhannya dan keinginannya yang egois, ia patuh. Akal sehatnya juga membantu. Ia tidak tau ada apa di dalam telaga itu. Bahaya bisa mengintai setiap saat. Sayapnya mengepak perlahan menjauhi telaga yang tampak makin kecil dan akhirnya tidak kelihatan lagi.
ini fajar telah datang. Di ufuk timur, di batas cakrawala, Ranti duduk bersimpuh di atas batu datar dengan tenang. Sayap terangnya telah mengatup dengan lelah.  Dua anak perempuannya bersandar dengan nyaman di ketiaknya. Masih tertidur, berlindung di dua bilah sayapnya yang hangat. Dua langkah di depannya Rekso suaminya duduk bersila. Sesekali ia menoleh kebelakang melemparkan tatapan terima kasih kepada Ranti  istrinya. Ranti membalasnya dengan senyuman khasnya. Didalam pikirannya ia senang. Ia puas. Ia bersukur dan berterima kasih kepada Sang Kuasa atas kemampuannya membawa keluarganya terbang melewati malam……  
Tatapan Ranti jauh membelah sisa malam. Di sela-sela helai fajar yang merekah, mata Ranti mencari-cari. Ia merasa saat terbang melintasi malam membawa keluarganya , ia tidak sendirian. Di kejauhan seperti kunang-kunang ia melihat banyak cahaya berpedar. Ia yakin ia tidak sendirian. Dan ia tau mereka juga adalah wanita seperti dirinya…. Karena hanya wanita yang dikaruniai sayap cahaya !!  Kartini telah merajut sayap cahaya dengan teliti dan mewariskannya  untuk melewati kegelapan jika waktunya tiba. Membawa peradaban menuju terang yang gemilang. Terima kasih Kartini……..   ( Doni Dole )